Bismillahirrahmaanirrahiim.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Tahukah kita, apa penyebab utama kenikmatan itu hilang?
Masih ingatkah kita semua akan cerita Iblis dikeluarkan dari surga?
Tentu semua sudah tahu. Lantas, kalau kita sudah tahu, apakah hal ini tidak menjadi pelajaran penting bagi kita?
Iblis dikeluarkan dari surga, akibat adanya rasa berlebih dari manusia. Dia merasakan dirinya diciptakan dari bahan yang jauh lebih baik dari nabi Adam Alaihissalam. Apa kata Iblis untuk membangkang perintah Allah agar sujud kepada nabi Adam?
“Saya lebih baik dari dia, Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah”.
Keinginan untuk menjadi “The Best”, sampai-sampai didunia sekarangpun orang berlomba-lomba dalam banyak hal, untuk menjadi “The Best”. (The best seller,the best woman, the best student in the class/universitas, and the others..)
Perlombaan-perlombaan, pemilihan-pemilihan kontes kecantikanpun, merupakan sarana pendukung untuk menjadi “ perempuan/lelaki yang terbaik” Pengumuman didalam raport kertas hasil ujianpun, mendukung dan memajukan sarana prasarana untuk menjadi the best tadi”.
Perasaan itu telah timbul semenjak dari masa kanak-kanak, masa sekolah, remaja, sampai mau mati dekat sakratul mautpun, hal itu selalu ada. Semua ini karena sudah terbiasa dan kita sudah seakan-akan terlahir diciptakan untuk menjadi yang terbaik, tanpa kita menyadari akibat dari semua itu, yang menimbulkan sebuah persaingan dan keinginan untuk mengalahkan orang lain.
Dan tak jarang kita lihat, akibat keinginan untuk menjadi yang terbaik ini, seringkali menimbulkan permusuhan satu sama lain, rasa iri, dengki, sombong menjalar bagaikan pohon ubi jalar yang tumbuh begitu cepat. Masih syukur perasaan itu timbul bagaikan ubi jalar, kalau ia tumbuh bagaikan petir yang berlari kencang, sampai menyambar tanpa bisa ditahan siapapun. Dan hal ini sungguh sangat berbahaya, dan betapa jeleknya. Sikap ingin mengalahkan.
Kata orang :”Alah biasa dek terbiasa”. Perasaan ingin bersaing dan menjadi yang terbaik, kalau sudah dibiasakan sejak kecil, maka sulit dibuang sehingga dewasa.
Apakah sikap untuk menjadi yang terbaik ini, tidak baik sama sekali?
Hanya ada perintah untuk berlomba-lomba dalam Al-Quraan, yakni :”Dan bersegeralah kamu kepada memohon ampunan kepada tuhan kamu, dan surga yang yang luasnya seluas langit dan bumi, yang mana surga itu disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa”(Q.S.Al Imram 133).
Cobalah kita mulai merenungkan lebih dalam lagi, kita lihat realita yang ada. Apakah semua yang tatkala masa kanak-kanak, masa disekolah, diperguruannya dia yang selalu menjadi “Bintang Pelajar, Peraih Juara I, juara Umum, juara teladan”, kehidupannya kelak, benar-benar maju, baik dari sisi ekonomi, kaya (justru sering kita lihat, orang dalam kesanya dulu biasa-biasa saja, justru menjadi manusia terkenal, manusia dikenang dari zaman kezaman, manusia kaya, dllnya). Apakah ketika disekolah juara umum disekolahnya dulu memiliki, mental, phisik, ruhani, kepribadian, dalam masyarakatnya, agamanya dan lainnya (kita lihat para koruptor bukankah dulu mereka juga pernah menjadi the best student)?.
Ada baiknya, kita memulai dari diri kita sendiri, anak-anak kita, kita terapkan sikap hidup sederhana dalam segala hal. Karena Allah dan rasul-Nya pun menyuruh kita ummat Islam agar selalu bersikap netral, sederhana. “Kullu umuurin ausatuha”(Sebaik-baik keadaan adalah berada pada pertengahan).
Sikap membiasakan, bahwa :”Diatas langit, masih ada langit lagi, diatas yang berpengetahuan, masih ada lagi yang jauh lebih berpengatahuan” Bukankah Allah Ta’ala berfirman “Wa fauqa kullu dzuu ‘ilmin, ‘aliim”(Dan diatas orang yang memiliki ilmu pengetahuan, ada lagi yang lebih berpengetahuan)”. Masih ingat cerita nabi Musa As, dan Khidir As?
Seharusnya sikap inilah yang kita tanamkan untuk diri kita sendiri, keluarga, sanak family, tetangga, ummat Islam dan masyarakat kita. Karena sikap ini jauh lebih selamat ketimbang sikap dari Iblis yang kita contoh dan kita tanamkan, “Saya lebih baik dari dia, maka sayalah yang terbaik”.
Menjadi orang yang baik, itu bagus, bukankah Rasulullah bersabda :”Sebaik-baik manusia adalah yang lebih banyak, yang paling banyak, berarti yang “Lebih baik”, terhadap manusia lainnya”.
Dengan kata lain, untuk menjadi yang the best, carilah tempat yang The best juga. Orang paling atau yang terpintar, belum tentu dia menjadi manusia yang terbaik dan bermanfaat untuk manusia lainnya.
Bukan menjadi orang yang terpintar yang kita cari, tetapi menjadi manusia yang paling banyak memberikan kontribusi pada manusia lainnyalah yang akan selalu kita kejar, karena ini tuntunan Allah dan RasulNya, itupun dengan syarat mutlak Lillahi Ta’ala semata, dan sesuai amalan dengan tuntunan AlQuran dan Sunnahnya. Dua hal yang kelihatan mirip/sama, tetapi dia berbeda, dan perbedaannya sangat tipis.
Demikian, Allahu’Ta’ala ‘Alam.
Wassalamu'alaikum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar